Selasa, 28 Februari 2012

Rumah moral Melly kiong


Melly Kiong menuturkan visi dan misinya tentang pentingnya pendidikan moral diawali dari rumah, serta suka duka yang dialami ketika hendak menerbitkan buku pertamanya. Berikut adalah petikan wawancara Edy Zaqeus dari AndaLuarBiasa.com dengan Melly Kiong pada akhir 2008 lalu, saat Melly berkunjung ke Redaksi AndaLuarBiasa.com.

Bagaimana ceritanya sampai kepikiran bikin buku ini?
Awalnya, saya ini kan bekerja kantoran. Sementara bagi saya, keluarga saya itu harus saya utamakan. Makanya, setiap kali ketemu orang, saya pasti cerita tentang suami saya, anak saya.lalu, ada teman saya namanya Mario, dia sampai bilang begini, “Saya kalau lihat Bu Melly itu kayaknya kok enak banget. Kerja bagus, tapi anak kok juga lucu-lucu dan terdidik dengan baik. Kenapa Ibu tidak tulis buku aja?” Ah, gila lu, yang beneraja…. Akhirnya, ya benar juga. Kenapa enggak, ya?

Saat mulai menulis buku, suami tahu?
Suami saya tidak tahu pas saya mulai mengetik. Jadi saya dibelikan communicator, saya sambil nunggu orang, ngetik. Enggak bakalan bisa mengetik di rumah. Makanya, suamiku itu enggak tahu saya bikin buku hahaha… Ntar kalau dia sudah tidur, aku ketik-ketik di dalam, input ke dalam. Tahu-tahu, benar juga lho, jadi 49 halaman….


Lalu, bagaimana perjalanan naskah Anda?
Saya pas sharing di Radio Cosmo, saya jadi tahu Bu Clara (Clara Kriswanto, psikolog Jagadnita Consutling: red). Saya email, lama tidak ada respon. Sampai saya pikir, “Siapa, sih aku, enggak mungkin dikenal sama orang….” Saya pikir, enggak mungkinlah ke Gramedia, pupuslah harapan saya. Akhirnya, saya kenal Clara. Saya bilang, “Pokoknya (buku) ini bagus banget, deh! Saya yakin itu.” Saya punya kepedulian ini…ini… Dia kasih respon positif. Lalu, saya ketemu Mas Edy. Mas Edy minta …. (menyebut angka: red), kaget saya…. Semua orang marahin saya, lho! Sampai seorang teman bilang, “Gila, goblok kamu begini…begini….” Ya sudahlah. Saya enggak pernah sedih, karena saya punya niat.

Komentar suami Anda?
Nah, waktu saya tunjukkan draf MOU ke suami, dia bilang, “Pokoknya aku enggak mau ya, keluar duit!” Akhirnya, saya enggak ngomong ke dia. Dan, Mas Edy baik juga. “Ya, udah, Ibu bayar aku beberapa kali, deh….” Masih itu struknya saya simpan hahaha….


Sempat ada keraguan melangkah?
Yang aneh, saya sama sekali tidak ada keraguan. Karena, di mana pun saya cetak (buku), saya sudah punya market. Waktu saya berpikir seperti itu, 500 buku sudah ada di tangan saya. Pas suami saya bilang begitu tadi, saya takut. Tapi, saya sudah bayar dua kali, hampir yang ketiga. Saya hanya berharap, jangan sampai saya ada masalah gara-gara itu, kan? Lalu, entah pas Natal atau pas saya ulang tahun, saya bilang sama suami saya. “Boleh enggak aku minta sesuatu…?” Suamiku kaget, “Ada apa?” “Kita sudah sekian tahun menikah, aku enggak pernah minta apa-apa lho sama kamu. Aku minta maaf aja, aku sudah bayar Mas Edy itu dua kali. Karena aku dapat THR, aku lunasi itu.” Aduh, saat itu, suami saya diam saja, tidak mau ngomong sama saya. Saya bilang, “Selama ini aku tidak pernah ngeyel, tapi cuma kali ini doang. Ya, aku mohon maaf.” Saya ada rasa bersalah, tapi ada rasa plong setelah ngomong itu.


Proses selanjutnya?
Setelah itu, menunggu endorsement. Begitu saya dapat dari Kak Seto, wah… saya semangat sekali. Lalu, semua saya mintai. Akhirnya, saya jadi tambah semangat. Begitu mendapat banyak endorsement, suami pun mulai mencair. Dengan agak kesal, dia bilang, “Sini, satu kopi, aku mau kasih ke bosku.” Sorenya, dia sudah bawa tulisan ke saya, “Itu, istrinya bosku kasih satu (komentar).” Saya senang banget.


Setelah itu, naskah dimasukkan ke penerbit apa?
Waktu itu, Mas Edy rencana mau ke penerbit lain ya… Enggak ke Gramedia. Saya minta waktu satu minggu. Lalu, saya ketemu saudara, yang punya kenalan di Kompas, tapi bukan di Gramedia. Sabtu, saudara saya telepon, disambungkan dengan orang Kompas itu. Saya bilang, “Pokoknya saya punya buku sudah tidak perlu diedit lagi, karena sudah diedit. Dan, saya dalam waktu singkat sudah dipanggil untuk seminar.” Saya juga katakan, 500 buku pasti sudah terjual, dipesan. Dan, saya yakin banget karena saya orang marketing.


Selanjutnya?
Akhirnya, saya ditelepon orang Gramedia (maksudnya penerbit Elex Media dari Kompas-Gramedia Group; red). Mungkin sudah jalannya kali ya. Selasa kami ketemu Lia jam 9. Saya presentasi tentang apa saja yang akan saya lakukan. Hari itu juga, dia bilang naskah buku saya diterima. Padahal, dia sama sekali tidak membaca.


Pandangan penerbit atas gagasan-gagasan Anda?
Elex Media merasa, kehadiran saya memberikan nuansa yang agak beda. Sampai dia bilang, saya itu benar-benar marketing sekali!


Kapan suami semakin mendukung kiprah Anda?
Mulai kelihatan saat saya kasih informasi, bahwa buku saya sudah diterima di Elex Media. Dia kan pernah cerita, “Wong direkturku saja mau terbitin buku enggak jadi-jadi!” Makanya, begitu tahu buku saya diterima, itu ada suatu nilai kebanggaan buat dia. Waktu itu, buku belum terbit, Elex sudah mulai sounding, di sebuah radio di Surabaya. Anak buah suami saya, yang dengerin siaran itu, cerita, katanya ada sebuah buku yang akan beredar dan sedang ditunggu-tunggu, berjudul “Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik?” Akhirnya, suami yang waktu itu di Surabaya telepon saya, “Selamat, lho sudah diumumkan di radio.”


Begitu melihat buku secara fisik?
Tahulah, seorang laki-laki biasanya kan sulit mengatakan apa yang dirasakan sebenarnya. Tapi, saya bisa tahu betapa dia bangga sekali dengan saya. Setiap kali saya membawakan seminar, dia selalu SMS-in ke saya, “Sukses, ya!” Nah, itu suatu spirit ya dari suami saya. Saya bilang, keberhasilan saya dalam menyusun buku ini dan dalam mendidik anak, itu bukan keberhasilan saya sendiri. Sebab, suami sayalah yang menjadi juri dalam menetapkan pola mendidik anak. Kalau saya ada yang kurang, dia bilang, “Oke, menurut aku begini….” Jadi, bukan kehebatan saya. Di balik itu adalah kehebatan seorang suami.


Arti dukungan suami atas apa yang Anda lakukan saat ini, berbagi melalui 
 seminar-seminar?
Sekarang, apa yang saya senang lakukan, dia ikut senang. Kalau suami secara direct mau share ke saya sihjarang ya. Tapi, kalau setiap kali ada pemberitaan di koran, dia pasti bilang, “Ini dikliping dong… dikliping….” Saya membaca itu, dia merasa bangga, ya. Dan, anak-anak saya juga merasa bangga.


Waktu Anda menjual langsung buku itu, kebanyakan pembelinya siapa?
Kalau untuk di pabrik, banyak sekali bapak-bapak yang beli. Saya sering banget ketemu, contohnya seorang satpam, saya tanya, “Pak, bagaimana keadaan Ibu? Kerja enggak?” Kita tahu dong, satpam penghasilannya berapa. “Aduh, Ibu ngurusin anak di rumah, deh!” Lalu saya bilang, “Pernahkah Bapak berpikir, kalau sesuatu terjadi pada Bapak, dengan seorang istri yang tidak siap, apa yang akan terjadi dengan rumah tangga? Anak harus makan, kan? Keluarga harus tetap berjalan, kan?” Itu yang akhirnya membuat mereka mengatakan, “Iya, ya Bu, kenapa saya tidak berpikir seperti itu?” Lalu, suami-suami yang tidak ingin istrinya bekerja itu menganggap kalau istrinya kerja tidak bisa mendidik anak. Saya jelaskan, saya melakukannya seperti di buku ini. Saya bukan teori, tapi menjalankan. Sampai akhirnya satpam pun beli buku saya.


Jago juga Anda “merayu” calon pembaca hahaha?
Satpamnya bilang, “Bu, saya tidak punya uang…?” “Oke, Bapak punya uang berapa?” Dia jawab, “Saya cuman punya dua puluh ribu…” “Oke, dua puluh ribu saja enggak apa-apa. Tapi ingat, Bapak harus lebih berpikir bagaimana membangun masa depan anak supaya lebih baik.” Sebab, kalau bicara masa depan, kita harus bicara bagaimana menciptakan anak-anak yang berkualitas. Saya banyak melihat, di kalangan “susah” pun mentalitas juang mereka sudah tidak ada.


Kalau pembeli buku dari relasi Anda?
Kalau relasi hampir semua membeli. Mau laki-laki mau perempuan, semua beli. Sampai orang yang tadinya belum berkeluarga pun, berkomentar, “Aduh, setelah saya baca buku Bu Melly saya langsung kepingin cepat-cepat nikah…!” Jadi, menurut saya buku saya ini soal mindset. Mau miskin dia perlu, mau kaya dia perlu.


Anda juga menindaklanjuti buku itu dengan seminar, kan?
Ya. Ketika saya datang memberikan seminar kepada orang-orang miskin, sangat hebat lho, Pak sambutannya. Tiga puluh orang yang hadir, sepuluh buku saya terjual di tempat orang-orang yang tidak mampu. Lalu, di daerah Curug (Tangerang) yang dihadiri hampir 200 orang, yang kebanyakan orangnya penganggur, saya bisa jual 24 buku. Kalau ketemu bos-bos, mereka langsung beli sepuluh buku untuk dibagi-bagikan ke orang lain.


Sebenarnya, apa sumber ketertarikan para pembeli langsung itu?
Satu, saya yakinkan orang bahwa buku saya beda dengan buku orang lain. Buku saya tidak menyampaikan bagaimananya secara teori, tapi secara fakta. Saya berharap, jangan sampai orang lain mengalami pengalaman yang pernah saya lewati. Dengan seorang Ibu yang tidak siap menjadi seorang single parent. Takut menjadi seorang ibu yang tidak siap secara mental. Tapi, ada juga lho yang ngomong, “Aduh, saya sih sudah siapkan duit segunung!” Tapi, yang namanya duit segunung kalau dipacul habis juga, kan? Jadi, menurut saya, mentalityitu sangat penting.


Anda mendirikan Rumah Moral, apa visi dan misi lembaga itu?
Itu semacam gambaran atau iming-iming buat saya. Saya itu ingin membuat sesuatu, supaya anak-anak itu di sekolah pun juga diajari tentang moral. Karena, bagi saya moral itu penting banget. Saya mengajarkan sopan santun kepada anak-anak saya, misalnya melalui kaca pembesar. Itu sebenarnya tentang pesan moral, tentang tanggung jawab, tentang disiplin. Saya merasa, di rumahlah saya harus mulai untuk memberikan sebuah pesan moral itu. Jika memungkinkan nanti, saya akan membangun Rumah Moral itu sebagai suatu proyek percontohan. Sebab, dengan moral kita bisa hidup lebih baik.


Rumah Moral ini secara vironer sangat bagus. Kalau benar-benar dikembangkan, mungkin semangatnya bisa ditularkan ke banyak orang. Sebab, segala perbaikan kondisi bangsa kita bisa diawali dari rumah moral ini…?
Mulai, Pak. Ya, makanya sekarang kalau ke mana saja saya selalu membawa “Salam Peduli Anak Bangsa”. Setiap kali ada yang minta tanda tangan (di buku), saya selalu cantumkan; Selamat bergabung, salam peduli anak bangsa, yang dimulai dari rumah. Kenapa saya bilang, saya ingin jadi sebatang lilin? Saya bilang, ketika saya menjadi sebatang lilin dan saya punya api, ketika api saya menyalakan seribu lilin lainnya, toh saya enggak akan mati, kan? Itu arti yang ingin saya sampaikan kepada orang lain. Makanya, saya menghimbau semua orangtua, mulailah berperan dari rumah sendiri, masing-masing satu orang menyalakan satu lilin saja dari rumah, berarti ke depannya kita masih punya harapan untuk melihat terang, kan? Itu kira-kira misi saya.
melly-kiong-family


Bisa lebih dijelaskan lagi misi Anda?
Saya punya misi yang luhur, semua orangtua itu bisa hadir dalam seminar saya dan saya masuk dari sekolah. Saya berpikir dari pengalaman sendiri, ketika mau tahu soalparenting saya harus keluar uang Rp 600 ribu. Berarti, cuma bagi orang tertentu saja yang bisa belajar, kan? Bagi orang yang tidak punya, kan dia tidak bisa belajar? Makanya, saya ngamen, saya ketuk sekolah-sekolah satu per satu. Saya juga bilang, kalau pembaca buku saya memandang buku itu baik, saya minta supaya mereka kasih pinjam ke sepuluh tetangga atau orang di sekitarnya. Itu misi saya.


Bagaimana testimoni pembaca buku Anda?
Setiap kali habis seminar, saya selalu minta feedback. Semua saya filing, termasuk semua SMS yang masuk. Termasuk Mbak Eny Kusuma (motivator, penulis buku Anda Luar Biasa!!!red), yang menulis ke saya, “You’re my inspiration. Ini buku pegangan saya dalam mendidik anak saya.” Banyak sekali, saya kliping semua. Banyak juga testimoni yang mengharukan. Kalau saya talk show di radio, rata-rata penyiarnya yang menangis. Sampai penyiar radio Female itu, kan cowok itu, nangis juga dan bilang, “Bagaimana ya seandainya aku itu punya ibu seperti Ibu Melly….” Ada juga salah satu pembaca yang berkomentar, “Melly, kamu punya buku harusnya sudah masuk arround Indonesia dan pasti bisa diterima. Karena apa? Kita semua problemnya sama, termasuk yang di Malaysia, Hongkong, Singapura, Jepang. Asia semua… mereka semua kesulitan dalam mendidik anak, karena orangtua tidak ada waktu.”


Sejauh mana Anda akan melangkah dengan buku ini?
Saya tidak akan main-main dengan buku saya. Belum tentu lho buku motivator terkenal misalnya, bisa diterima seluruh lapisan masyarakat. Belum tentu buku, yang menurut kita begitu bagus, bisa diterima oleh seluruh masyarakat. Tapi, saya yakin sekali dengan buku saya. Sampai ada testimoni SMS, “Bu, buku itu bisa saya praktikkan 10 atau 15 tahun lagi pada saat saya sudah berkeluarga.” Bagi saya, menjual satu juta kopi itu bukan sesuatu yang mustahil.


Katanya sampai pernah ada yang menanyakan latar belakang pendidikan Anda?
Saya sih apa adanya. Ketika talk show ada yang tanya, “Ibu itu pendidikannya apa, sih?” “Mau tahu pendidikan saya, saya itu S-3!” “Woo… hebat amat, masih muda sudah S-3!” Dia enggak tahu, maksud saya S-3 itu SD, SMP, SMA hahaha…. Seorang psikolog pun bernah berkomentar, bahwa dia tidak menyangka saya sampai bisa berpikir seperti itu.


Anda juga ingin berbagi mengenai pengalaman menulis dan menerbitkan buku ini?
Yang saya ingin sampaikan, kalau suatu saat kita bisa membuat seminar, bahwa sebaiknya kita itu menulis sesuatu secara jujur, seperti yang ada dalam hati kita. Kalau kita yakin apa yang kita tuliskan berguna buat orang lain, kita enggak perlu khawatir.


Kabarnya Anda hendak mengusulkan buku ini supaya mendapat penghargaan MURI?
Iya, saya sedang bicara dengan Jaya Suprana. Ia menjelaskan ada beberapa kategori untuk buku. Saya bilang, “Menurut saya, buku saya adalah buku yang harus dibaca orangtua yang ingin menjadi orangtua.” (Pada Januari 2009, Musium Rekor Dunia Indonesia menganugerahi Melly Kiong penghargaan atas rekor: “Ibu Rumah Tangga Sektor Publik penulis buku Pedoman Parenting untuk para Ibu Rumah Tangga Sektor Publik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar